POTENSI DISINTEGRASI NASIONAL :
KASUS EMPAT DAERAH
I.
Latar
Belakang
Krisis moneter yang disertai krisis ekonomi dan politik di
Indonesia yang berlangsung sejak pertengahan 1997, membawa implikasi ganda,
baik yang bersifat positif maupun negatif, bagi masa depan politik Indonesia.
Aspek positif dari krisis tersebut adalah timbulnya gelombang tuntutan
reformasi total, khususnya di bidang politik, ekonomi dan hukum. Mundurnya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah memberikan kesempatan emas bagi rakyat
dan bangsa Indonesia untuk menata kembali sistem politik, ekonomi, dan hukum ke
arah yang lebih sehat, adil, dan demokratis. Meski di tengah euforia politik
saat ini masih terdapat gejolak politik di antara mereka yang pro pemerintah
dan yang anti pemerintah, diharapkan transisi menuju demokrasi ini akan dapat
dilalui secara damai seperti yang dicita-citakan sebagian besar rakyat
Indonesia. Rakyat Indonesia tampaknya tidak menginginkan terulangnya kembali
lingkaran setan suatu proses dari tirani menuju ke demokrasi, anarki politik
dan kembali ke tirani lagi, seperti yang terjadi pada proses pergantian
kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto.
Dari sisi negatif, di tengah euforia politik tersebut muncul
kembali aspirasi sebagian masyarakat di beberapa propinsi di Indonesia seperti
di Irian Jaya, Aceh, Timor Timur, dan Riau yang menghendaki kemerdekaan, lepas
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kejatuhan rezim Soeharto yang
otoriter, represif, dan cenderung menafikan aspirasi lokal, tampaknya dipandang
sebagai momentum oleh sebagian masyarakat di daerah-daerah tersebut untuk
menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka yang diabaikan selama sekitar 30
tahun Orde Baru. Dalam perkembangan terakhir, pemberian kesempatan bagi rakyat
Timor Timur untuk memilih dua opsi yang ditawarkan Presiden Habibie, yakni
status khusus dengan otonomi luas atau lepas dari RI, menjadi momentum baru
untuk sebagian masyarakat di tiga daerah lainnya untuk menuntut perlakuan yang
sama.
Kalau ditelusuri ke belakang, potensi disintegrasi politik di
Irian Jaya, Aceh, dan Timor Timur memang memiliki akar yang amat mendalam. Di
Irian Jaya, misalnya, keinginan sebagian masyarakat Irian untuk lepas dari
Indonesia memiliki sejarah yang panjang, bahkan sebelum propinsi tersebut resmi
menjadi bagian dari Indonesia pada 1 Maret 1963. Meski gerakan-gerakan
separatisme, atau nasionalisme Papua, bersifat sangat sporadis dan
kadang-kadang tidak ada hubungan satu sama lain, semua gerakan tersebut
cenderung menggunakan nama gerakan yang sama, yaitu Organisasi Papua Merdeka
(OPM).
0 komentar:
Posting Komentar